Minggu, 02 September 2018

Makalah Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah


MAKALAH
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH


Hasil gambar untuk tut wuri handayani sma

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4

NAMA   :  1. Natasya cilvita
           2. m.sepchendri z.p
           3. dilla safitri
           4. angga rianto


SMA PGRI 4 PADANG
2018/2019

KATA PENGANTAR




Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT.atas izin dan kehendak-Nya-lah kami bisa menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam kami ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir sekaligus manusia yang menjadi teladan bagi kita semua.
Tujuan penyusunan makalah ini tentunya ialah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Otonomi Daerah. Makalah yang kami susun ini berjudul ”Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”. Demi tersusunnya makalah ini, kami mengambil referensi dari berbagai buku bacaan serta sumber lain dari internet. Tidak lupa kamimengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Yaya M. Abdul Aziz, M.Si. selaku dosendari mata kuliah Otonomi Daerah.
Demikianlah, beberapa patah kata yang kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih memiliki banyak sekali kekurangan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar penulis bisa membuat sebuah makalah yang lebih baik di kemudian hari.

Wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
                                                                                                                                                                                                                          Padang, 3 September 2018












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C.     Tujuan..................................................................................................................... 2
D.    Manfaat................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hubungan dalam Bidang Kewenangan.................................................................. 4
B.     Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan......................................... 6
C.     Hubungan dalam Bidang Keuangan...................................................................... 9
D.    Hubungan dalam Bidang Pelayanan Umum......................................................... 10
E.    Hubungan dalam Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
        Lainnya ................................................................................................................. 12

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................................................ 14
B.     Saran..................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 15












 BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Sejak Negara Republik Indonesia diproklamasikan, para pendiri negara (the founding father) berkeinginan bahwa negara Indonesia ini merupakan Negara Kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
Sejak Konstitusi Indonesia ditetapkan sampai terjadinya amandemen pasal-pasal dalam Konstitusi RI (UUD 1945), pasal tersebut tidak termasuk ke dalam pasal yang diamandemen. Hal ini membuktikan bahwa sejak diproklamasikannya negara ini hingga sekarang, Indonesia tetap berprinsip pada bentuk negaranya sebagai Negara Kesatuan. Bahkan menurut Pasal 37 ayat (5) UUD 1945, hasil amandemen UUD 1945 menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Menurut Syafrudin (1993), ciri yang melekat dari negara kesatuan yaitu adanya Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang keduanya saling berhubungan erat dan saling menentukan. Artinya, Pemerintah Pusat tidak akan mampu menjalankan tugas dan kewajiban dalam organisasi kekuasaan negara yang sangat luas tanpa bantuan Pemerintah Daerah. Di sisi lain, Pemerintahan Daerah tidak akan mendapat kekuasaan (power) yang berbentuk kewenangan (authority) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya apabila tidak diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat yang diatur melalui peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di negara kesatuan sangat menentukan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang baik, perlu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap setiap tindakan daerah otonom. Selain dalam hal kewenangan dan pembinaan serta pengawasan, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga mencakup hubungan dalam bidang keuangan, hubungan dalam bidang pelayanan umum dan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan?
2.      Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan dan pengawasan?
3.      Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang keuangan?
4.      Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan umum?
5.      Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya?

C.    Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan.
2.      Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan dan pengawasan.
3.      Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerntah Daerah dalam bidang Keuangan.
4.      Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan umum.
5.      Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

D.    Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah:
1.      Secara teoritis dapat menambah wawasan keilmuan kita mengenai otonomi daerah, khususnya mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.      Secara praktis, makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi kita dalam mengkaji setiap bentuk kesenjangan dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang terjadi di Indonesia.































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan dalam Bidang Kewenengangan
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenengan berkaitan dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini mencerminkan bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Menurut Manan (2002), suatu daerah dapat digolongkan sebagai otonomi luas apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Urusan-urusan rumah tangga daerah secara kategori dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
2.      Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
3.      Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat. Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip, semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali hal-hal yang ditentukan sebagai urusan pusat sebagai mana diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu:
1.      Politik luar negeri, yaitu seperti urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk keluarga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya.
2.      Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan sebagainya.
3.      Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak kelompok atau organisasi yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan negara dan sebagainya.
4.      Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya.
5.      Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hukum dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berlaku secara nasional.
6.      Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya..
Selain keenam urusan pemerintah tersebut, selebihnya menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki pemerintah daerah tidak terbatas. Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dianggap mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Abdullah, 2000).
Dalam pembagian urusan pemerintahan, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, pada setiap urusan yang bersifat concurrent, ada bagian urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan ada bagian yang diserahkan pada kabupaten/kotaUntuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent ini, secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
a)    Eksternalitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
b)   Akuntabilitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c)    Efisiensi, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah Pusat maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

B.     Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Bab XII 12 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan diatur lebih terperinci dalam peraturan pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan oleh Pemerintah (pusat) untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan dengan diberikannya keleluasaan dan kewenengan untuk menjalankan roda pemerintahannya (desentralisasi), daerah dengan kewenangannya sendiri meneyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keperluan (keutuhan) NKRI (Pemerintah Pusat) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah pusat yang ada di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :
a.    koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan;
b.    pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
c.    pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
d.   pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara umum;
e.    perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Konsultasi dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencangkup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/ atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupu kepala daerah tertntu sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan. Pelaksanaan ketentuan tersebut dapat dilakukan secara kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian.
Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat terhadap setiap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diatur dalam BAB XII pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Maksud pengawasaan ini ialah menjaga pelaksanaan otonomi oleh daerah-daerah agar diselenggarakan dan tidak bertindak melebihi wewenangnya sehingga daerah dengan wewenangnya yang luas, nyata dan bertanggung jawab ini menyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keutuhan NKRI.
Fungsi pengawasan ini dalam rangka menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya. Dalam organisasi pemerintahan, pengawasan bertujuan menjamin:
1.   keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan
2.   kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pengawasan Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan pemerintah daerah ini tentunya telah mengalami pergeseran sejak adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dikenal dengan adanya pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.
1.      Pengawasan Umum
Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, pengawasan umum ialah pengawasan Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan umum ini meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, perumahan daerah, serta bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
2.      Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat II. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan itu adalah hal-hal yang menyangkut sebagai berikut:
a.   Menetapkan ketentuan ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah, larangan, keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.
b.   Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran tertentu.
c.   Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).
d.   Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah, menetapkan dan mengubah apbd, mengatur gaji pegawai dan lain-lain.
3.      Pengawasan Represif
Pengawasan represif adalah menyangkut penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 218, pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan melalui:
1.  Pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintah didaerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi;
a.  Pengawasan atas pelaksanaan dan urusan pemerintahan didaerah;
b.  Pengawasan terhadap peraturan daerah dasn peraturan kepala daerah.

2.  Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah memberi penghargaan pada pemerintah daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah yang menunjukan prestasi tertentu. Sebaliknya, pemerintah juga memberikan sanksi apabila ditemukan adanyan pemyimpangan dan pelanggaran.

C.     Hubungan dalam Bidang Keuangan
Dalam alokasi sumber keuangan daerah, yang menjadi pokok permasalahan ialah perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan daerah. Perimbangan adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Permasalahan yang sering terjadi saat ini ialah minimnya jumlah uang yang dimiliki daerah dibandingkan dengan uang yang dimiliki pusat.
Beberapa hal yang perlu dicatat mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah ialah sebagai berikut:
1.  Meskipun pendapatan asli daerah tidak banyak, tidak berarti lumbung keuangan daerah tidak berisi banyak. Lumbung keuangaan daerah tidak bersumber dari pendapatan sendiri, tetapi dari uang yang diserahkan pusat kepada daerah seperti subsidi dan lainya. Tidak berarti pula lumbung keuangan daerah yang terbatas itu menyebabkan rakyatnya menikmati kesejahteraan karena usaha kesejahteraan ikut diselenggarakan pusat.
2.   Meskipun ada skema hukum perimbangan keuangan, dalam kenyataan perimbangan keuangan pusat dan daerah hanya ilusi karena dalam keadaan apapun, keuangan pusat akan selalu lebih kuat dari pada keuangan daerah.
3.   Meskipun sumber lumbung keuangan daerah diperbesar, tidak akan ada daerah yang mampu membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang nomor 32 tahun 2004, hubungan di bidang keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (vertikal) meliputi sebagai berikut:
1.      Pemberian sumber-sumber keuangan, untuk meneyelenggarakan urusan  pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
2.      Pengalokasian dana perimbangan kepadada pemerintah daerah.
3.      Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah

Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintah daerah (horizontal) meliputi sebagai berikut:
1.      Bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintah ke daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/ kota.
2.      Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama.
3.      Pembiayaan bersama atas kerja sama daerah.
4.      Pinjaman dan/ atau hibah antar pemerintah daerah.

D.    Hubungan dalam Bidang Pelayanan Umum
Mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertikal) dalam bidang pelayanan umum, diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 16  ayat (1) yaitu meliputi:
1.      Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
2.      Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
3.      Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
Sementara itu, pada ayat (2) diatur mengenai hubungan antar pemerintah daerah (horisontal) dalam bidang pelayanan umum yaitu:
1.      Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
2.      Kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; dan
3.      Pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

Bidang pelayanan umum menjadi sorotan yang cukup penting dalam kajian otonomi. Masih sering ditemukan pelayanan umum di daerah yang tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan daerah yang tidak peduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam menyediakan pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam penyediaan pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah sakit yang berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (di bawah standar), adapula yang lengkap.
Selain bidang kesehatan, pelayanan umum bidang transportasi juga perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan akses jalan alternatif agar memudahkan seseorang menuju daerah itu. Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut mendanai penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan penyediaan pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan masyarakat yang menikmatinya.
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan inefisien.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Sedangkan apabila dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

E.     Hubungan dalam Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Lainnya
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan dalam bidang  pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi: 
1.      Kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan,  pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
2.      Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
3.      Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta  rehabilitasi lahan. 
Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam.
Sementara itu, pada ayat berikutnya diatur mengenai hubungan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara horizontal (antar pemerintah daerah) yaitu sebagai berikut:
1.      Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
2.      Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
3.      Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi:
a.       eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.      pengaturan administratif;
c.       pengaturan tata ruang;
d.      penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e.       ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f.       ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat (3), Ada enam hal yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang tidak menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yaitu mengenai politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan persoalan agama. Selain keenam hal tersebut, selebihnya menjadi urusan daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Pusat mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap setiap kewenangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan tersebut meliputi koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara umum; serta perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dikenal adanya tiga jenis pengawasan yaitu pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.
Dalam hal hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang keuangan, pelayanan umum serta pengelolaan sumber daya diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dimana disana diatur mengenai hubungan secara vertikal (antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) dan hubungan secara horizontal (antar pemerintah daerah) mengenai ketiga bidang tersebut.




B.     Saran
Pelaksanaan otonomi daerah di era globalisasi saat ini perlulah ditingkatkan lagi. Peran Pemerintah Pusat sangatlah penting dalam membantu pembangunan di daerah-daerah. Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, sangatlah perlu adanya peningkatan dalam manajemen pengelolaannya. Dalam hal pelayanan umum di daerah, kita masih sering menemukan ketidakpuasan dari masyarakat. Beberapa rekomendasi terkait hal tersebut bisa dilakukan melalui penetapan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pengembangan survey kepuasan pelanggan, dan pengembangan sistem pengelolaan pengaduan. Selain itu perlu adanya reformasi birokrasi yang serius dalam mengatasi kelemahan-kelemahan pelayanan di daerah.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Manan, Bagir. 2002. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.
Rosidin, Utang. 2015. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.
Safrudin, Ateng. 1993. Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah. Bandung: Citra Aditya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar